quinta-feira, 22 de dezembro de 2011

FH: TL-1 DAN DILEMA FRETILIN

José Maria Guterres)*

Tak seorang pun yang dapat menyangkal akan kontribusi besar Fretilin terhadap cita-cita ukun rasik-an bagi rakyat Timor-Leste. Tatkala orang-orang mempunyai pandangan, pilihan, dan cita-cita serta idiologi yang berbeda mengenai masa depan Timor kala terjadi revolusi Bunga di Portugal pada 1974, ketika pemerintahan baru pimpinan Antonio Espinola memberikan kesempatan kepada Timorense untuk menentukan nasibnya sendiri, pada saat itu, Fretilin sebagai satu-satunya entitas politik yang secara radikal memperjuangkan kebebasan dan kemerdakaan rakyak Maubere.

Kita bisa menyimpulkan bahwa dari tahun 1975-1979, Fretilin menjadi satu-satunya gerakan yang memperjuangkan sekaligus mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan secara unilateral pada tanggal 28 November 1975. Tentu saja semua orang mengakui dan menerima akan fakta sejarah tersebut. Namun semenjak tahun 1979 pasca meninggalnya Nicolau Lobato, ketika baze de apoio hancur karena dibombardir TNI, maka mau tidak mau memaksa hampir sebagian besar masyarakat turun gunung alias menyerahkan diri. Situasi tersebut mengakibatkan pula banyak tokoh politik Fretilin meninggal dunia, dan beberapa menyerah ke tangan musuh.

Kondisi tersebut di atas mengharuskan dilakukannya perombakan strategi perjuangan mendasar dan meluas. Tampilnya Xanana pada pucuk kepemimpinan Fretilin belakangan berhasil menyatukan semua komponen bangsa yang tercerai-berai. Setiap dan semua orang Timorense yang nasionalis disatukan, baik itu dari Fretilin sendiri, UDT, Apodeti, Kota dan Trabalista.

Fakta sejarah ini diamini oleh semua pihak, khususnya setelah Fransisco Xavier do Amaral dan Nicolao Lobato ‘melepaskan’ pucuk kepemimpinan Fretilin. Atas jasa-jasa Xanana sebagai pahlawan kemerdekaan dan tokoh pemersatu, ketika pertama kali Xanana mencalongkan diri sebagai calon presiden pada pemilu presiden pertama tahun 2001, Xanana dengan mudah memenangkan kursi PR dengan suara mayoritas hanya dengan satu kali putaran.
Meskipun kewenangan dan tugas PR dibatasi oleh undang-undang, PR hanya sebagai simbol persatuan semata, akan tetapi jabatan ini tetap memiliki gengsi dan prestige tersendiri. Jabatan presiden sebagai icon dan harga diri sebuah bangsa, maka tak heran jika setiap orang ingin berlomba dan berebut kursi Presiden Republik.

Jabatan PR sebagai simbol namun jabatan ini dirasakan terhormat, agung dan berwibawa serta sedikit banyak ikut mempengaruhi setiap kebijakan negara, maka partai politik dan individu-individu pun tak luput mengincarnya. Sebut saja Abilio Araujo, Rogerio Lobato, Manuel Tilman, Taur Matan Ruak, Jose Luis Guterres, Dr. Lucas da Costa , Fernando Lasama, dan terakhir muncul informasi Ceo Lopes dalam waktu dekat akan mendeklarasikan pula pencalonannya sebagai PR. Figur kandidat PR yang menjadi teka-teki hingga saat ini adalah Ramos-Horta (sang incumbent) karena hingga sekarang Ramos belum secara gamblang menyampaikan keinginannya untuk mencalonkan diri kembali atau tidak.

Selain figur-figur tersebut di atas, khayalak juga sedang menanti kapan dua partai besar, Fretilin dan CNRT menyampaikan kandidat mereka kepada masyarakat. Partai CNRT sebagai pemenang pemilu nomor dua (Segundo mais votado) akan mengadakan konferensi nasional partai pada tanggal 7 Januari 2012. Menurut informasi, hasil dari konferensi inilah yang akan menentukan apakah CNRT akan maju dengan kadernya sendiri atau partai CNRT akan mendukung kandidat tertentu diluar CNRT.

Sementara Fretilin sebagai pemenang pertama (primeiro mais votado) pemilu pada periode lalu, juga telah mengambil sikap sesuai dengan estatuta partai, yakni tetap menjagokan Presiden Partai untuk maju sebagai calon PR. Hal ini dapat dilihat melalui hasil konferensi partai Fretilin yang diadakan di Asrama Canossa Bekora beberapa waktu lalu, semua pengurus partai mendukung secara penuh pencalonan Lu-Olo sebagai kandidat PR 2012. Meskipun demikian, melalui media beberapa minggu yang lalu Lu-Olo mengatakan demi kepentingan nasional ia akan mempertimbangkan secara matang sebelum mengambil keputusan soal pencalonannya sebagai PR.

Menurut hemat penulis, ada dua opsi bagi Fretilin untuk menentukan sikap dalam hal pencalonan kandidat PR. Andaikata Fretilin maju dengan kandidat sendiri, dalam hal ini Lu-Olo, tentu saja memiliki untung dan ruginya. Kalaupun pada akhirnya Fretilin tidak mengajukan kandidatnya sendiri, tetap saja mengandung pula untung ruginya. Apa yang harus dilakukan Fretilin dalam menghadapi dilemma ini?!

Jika ditilik lebih dalam, sisi positif bila Lu-Olo maju sebagai kandidat PR, pertama, sebagai partai besar dan historik, wajar dan pantas Fretilin membawa bendera sendiri untuk bertarung dengan siapa pun dan dengan partai manapun karena hal ini berhubungan dengan gengsi dan ego partai. Kedua, sebagai partai besar, pemilu PR sebagai indikator untuk mengetes dan menguji seberapa besar kekuatan Fretilin sebelum memasuki pemilu legislatif.

Sementara, sisi negatifnya adalah pertama, suara dan dukungan dari Fretilin akan terpecah dan terbagi kepada Taur Matan Ruak, Rogerio Lobato dan tak tertutup kemungkinan Jose Luis Guterres. Bahkan kalau tidak hati-hati maka suara Fretilin bisa tercabik berkeping-keping karena dampak dari ketiga tokoh diatas memiliki hubungan emosional yang sangat kuat dengan sejarah Fretilin, meskipun pada kenyataannya Taur dan Lugu berada diluar struktur formal partai tersebut, dan Rogerio Lobato maju sebagai figur independen. Kedua, sejarah mencacat, Lu-Olo pernah kalah dalam pemilu presiden tahun 2007 ketika berkompetisi melawan Ramos-Horta dan Lasama. Jika dibandingkan dengan kondisi politik saat ini maka pada tahun 2007 kondisi Fretilin masih sangat solid.

Sudah barang tentu Fretilin tidak mengharapkan kekalahan untuk yang kedua kalinya dalam memprebutkan kursi PR, apalagi dengan mengajukan orang yang sama, yakni Lu-Olo. Tentu saja phobia ini tidak bisa dihindari oleh Fretilin, karena fakta dan konstelasi politik tahun 2012 telah berubah dan berbeda dengan pemilu yang lalu. Penulis sependapat dengan Filipe Rodrigues Pereira yang menyatakan dalam artikelnya bahwa "dalam hal pencalonan PR, realitas dan situasi politik yang dihadapi Fretilin saat ini jauh lebih sulit jika dibandingkan dengan pemilu 2007, (Jornal Independente, 9/12/2011).

Dilain pihak, seandainya Fretilin tidak maju dengan kandidatnya sendiri dan memilih untuk mencalonkan Taur maka aspek positifnya adalah, pertama, mendorong tidak terpecahnya suara para veteran dan eks-falintil yang dalam kondisi-kondisi tertentu sulit memisahkan diri dari Fretilin. Kondisi semacam ini minimal akan mempertahankan suara Fretilin sebagaimana pemilu pada 2007, dan secara maksimal terdapat kemungkinan suara Fretilin mengalami peningkatan pada 2012. Kedua, memungkinkan persatuan konstituen Fretilin karena partai memilih maju dengan seorang kandidat yang diterima secara luas di kalangan bawah partai. Dengan demikian kantong-kantong suara Fretilin tidak terpecah belah.

Sementara aspek negatifnya adalah Fretilin tidak mengetahui secara pasti sejauh mana kekuatannya. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa ada fungsionaris partai yang secara terang-terangan telah menjadi jurkam bagi kandidat PR yang lain. Hal ini tentu merugikan Fretilin karena kader partai tidak mengindahkan kode etik dan disiplin internal yang telah di gariskan oleh partai. Aspek negatif lain adalah konstituen Fretilin dapat saja beranggapan bahwa memilih Lu-Olo berarti memilih Fretilin, akibatnya jika Lu-Olo kalah dalam pemilu PR maka secara psikologis berdampak pada konstituen dan mendorong konstituen untuk mengalihkan suara kepada partai lain. Anggapan sederhana konstituen adalah Lu-Olo sudah kalah dalam pemilu PR maka tentu Fretilin pun sulit untuk memenangkan pemilu legislatif.

Terlepas dari untung-rugi, baik-buruk, dan kuat-lemahnya, apakah Fretilin akan maju dengan kandidatnya sendiri atau tidak? Pada satu sisi, sebagian masyarakat tetap berharap Fretilin sebagai sebuah kekuatan politik harus maju dengan kandidatnya sendiri, namun pada sisi yang lain perhitungan politik oleh pemimpin partai ini terlihat sangat hati-hati untuk mengambil keputusan. Kehati-hatian semacam ini memiliki pula konsekuensi, konstituen enggan lama menunggu di saat mana figur-figur kandidat PR lain telah merapatkan diri ke tengah masyarakat bawah.

Dengan waktu yang terus berjalan, publik tentu berharap siapapun yang akan menjadi PR nantinya, harus menjalankan tugas dan kewenangannya sesuai dengan apa yang telah diamanatkan oleh konstitusi. Hanya dengan begitu, demokrasi akan tumbuh dan berkembang secara baik, masyarakat dapat hidup dalam suasana yang damai dan pembangunan serta hasilnya pun dapat berjalan dan dinikmati oleh semua kalangan masyarakat.*****

)*Penulis adalah Alumni Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, tinggal di Dili!

Sem comentários:

Enviar um comentário